Kamis, 19 Juni 2014

MENYIKAPI MUSIBAH

Menyikapi Musibah

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan
kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang sabar" (QS. 2:155).
Ayat ini berbicara tentang adanya cobaan yang
akan dialami oleh kaum Muslimin, ketika
manusia sedang diuji oleh Allah SWT, seringkali
ia merasa seolah-olah ujian yang diterimanya itu
sangat berat. Seolah-olah tidak ada yang lebih
berat cobaannya selain yang terjadi pada dirinya.
Untuk menghilangkan persepsi semacam ini,
ketika Allah memberika ujian kepada seorng
mukmin, Allah SWT menggunakan lafadz "bisyai-
in" yang artinya sedikit.
Ayat ini berbicara tentang jihad. Ini artinya Allah
sedang berbicara dengan kaum mukminin, karena
yang melakukan jihad adalah orang yang
beriman. Lafadz yang dipakai Allah adalah
"bisyai-in min al-khouf..." yang artinya
"...dengan sedikit ketakutan..." Perkataan
bisyai'in, dipakai dengan menggunakan naqiroh
yang bertujuan untuk menyedikitkan Jadi pada
dasarnya ketika kita seorang mukmin ini diuji fi
thoriiqil iman -dalam jalan keimanan. Allah
dalam ayat ini menggunakan kata bi syai'in.
Akan tetapi sebenarnya ketakutan dan kelaparan
yang dirasakan oleh orang muslim tidak berbeda
dengan ketakutan dan kelaparan yang dialami
oleh orang kafir. Tetapi kenapa Allah
menggunakan lafadz bi syai'in? Ini dimaksudkan
bahwa bagaimanapun besarnya ujian Allah yang
diberikan kepada kaum muslimin, tetapi sangat
kecil jika dibandingkan dengan adzab Allah
kepada orang kafir di dunia atau di akhirat. ita
dapat memperhatikan firman Allah jika berbicara
kepada orang kafir. Antara lain Allah
berfirman,dalam surat An-Nahl : 112 yang
artinya :
"Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan
(dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman
lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya
melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi
(penduduk)nya mengingkari ni'mat-ni'mat Allah,
karena itu Allah merasakan kepada mereka
pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan
apa yang selalu mereka perbuat" (QS An-Nahl:
112).
Ayat 112 dari QS An-Nahl ini berkaitan dengan
orang kafir. Ketika berkaitan dengan orang kafir
Allah tidak mengatakan "bisyai-in min al-
khouf...", tetapi "libaasa al-juu'I wa al-khoufi..."
Ketika Allah mengatakan kepada kaum Muslimin,
Allah menggunakan bahasa yang berbeda,
dimana Allah menggunakan kata bi syai'in, untuk
menyedikitkan. Inilah bukti bahwa ujian yang
diberikan Allah kepada seorang mukmin itu
sebenarnya sangat sedikit.
Kemu'jizatan Al-Qur'an seperti ini tidak akan
dapat kita pahami jika hanya membaca
terjemahan Al-Qur'an saja. Oleh karena itu ada
Ulama' yang melarang untuk menerjemahkan Al-
Qur'an, karena dikhawatirkan akan mengurangi
kesempurnaan Al-Qur'an itu sendiri. Tetapi ada
pula Ulama' yang mengatakan bahwa
menterjemahkan Al-Qur'an ittu boleh, agar orang
yang bukan orang Arab bisa memahami Al-
Qur'an walaupun tidak menguasai bahasa Arab.
Sebagai jalan tengah, kita sepakati bahwa untuk
sementara kita boleh menggunakan terjemahan
Al-Qur'an untuk membantu memahami Al-
Qur'an, tetapi kita tetap mempunyai kewajiban
untuk belajar bahasa Arab agar pemahaman kita
tentang Al-Quran dapat lebih baik dan lebih
sempurna.
Allah mengatakan ﻭَﻟَﻨَﺒْﻠُﻮَﻧَّﻜُﻢْ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺨَﻮْﻑِ
ﻭَﺍﻟْﺠُﻮﻉِ ﻭَﻧَﻘْﺺٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺄَﻣْﻮَﺍﻝِ yang artinya "Dan
sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu,
dengan sedikit ketakutan, kelaparan, dan
kekurangan harta benda..." Kenapa Allah menguji
seorang mukmin yang berijhad di jalan-Nya
dengan kekurangan harta benda? Ini tidak lain
adalah karena mereka sebagian besar sibuk
dengan jihad di jalan Allah, sibuk dengan
dakwah, sibuk dengan Tholabul ‘ilm, sehingga
semangatnya dalam mencari harta benda di
dunia ini tidak sesemangat orang kafir ketika
mencari harta benda.
Ujian Allah yang lain adalah kekurangan jiwa
(kematian). Orang beriman yang sibuk dengan
jihad dan jihad, pasti ada yang meninggal secara
syahid di jalan Allah SWT. Dan kematian yang
syahid di jalan Allah ini merupakan ujian bagi
setiap orang beriman. Bapaknya meninggal,
suaminya meninggal, dan mungkin anaknya juga
meninggal dalam jihad fi sabilillah. Namun
demikian, kata Allah para syuhada' ini tetap
hidup di sisi Allah, walaupun manusia
menganggapnya meninggal, seperti yang telah
kita bahas pada ayat 154 sebelumnya.
Ayat 155 yang sedang kita bahas ini menyatakan
bahwa Allah akan menguji orang beriman dengan
beberapa hal. Bukankah sebenarnya Allah
mampu memberi pahala kepada orang yang
beriman tanpa harus mengujinya? Tentu saja
mampu. Tetapi kenapa harus ada ujian berupa
ketakutan, kelaparan dan sebagainya ? Maksud
Allah dengan ujian ini tidak hanya bernuansa
ukhrowi semata, yang menyangkut tentang
adanya pahala yang diberikan kepada orang yang
beriman kepada Allah SWT. Selain berdimensi
ukhrowi, ayat ini juga mempunyai dimensi
duniawi.
Umat Islam adalah ummat yang beraqidah. Dan
Aqidah Islam itu adalah sesuatu yang sangat
mahal harganya. Dan Aqidah Islam ini
merupakan dagangan Allah SWT. Rasulullah
mengatakan yang artinya, "Ketahuilah bahwa
dagangan Allah itu mahal, ketahuilah bahwa
dagangan Allah itu adalah surga".. Sudah barang
tentu dagangan Allah yang mahal itu harus dibeli
dengan suatu pengorbanan yang setimpal
dengan harga aqidah Islam itu. Allah tidak mau
aqidah yang sangat mahal itu dibeli oleh orang
yang kualitasnya murahan, dengan tenaga yang
murahan. Aqidah yang mahal ini hanya bisa
diperoleh dan diperjuangkan oleh orang-orang
yang mempunyai nilai yang mahal juga.
Orang-orang yang berintima'- berafiliasi dengan
aqidah yang mahal ini ketika pergi berjuang
untuk membela aqidahnya, siap untuk
mengorbankan harta benda dan jiwanya, serta
siap untuk lapar dan takut. Seorang mukmin
yang mampu untuk mengorbankan segalanya
dalam membela Islam menunjukkan bahwa
aqidahnya sudah benar. Kemampuan untuk
berkorban ini merupakan manfaat yang
dirasakan oleh seorang mukmin. Ini adalah
faedah secara dakhiliyah, secara internal. Apa
dampaknya bagi orang luar, bagi orang-orang
yang non muslim, yang sekaligus adalah nilai-
nilai dakwah ? Yang dapat dilihat dan dirasakan
oleh orang-orang non muslim adalah bahwa
seorang mukmin yang mempunyai aqidah
Islamiyah yang baik itu mau untuk
mengorbankan dirinya, harta bendanya dan apa
saja yang dipunyainya untuk membela
aqidahnya. Ini akan membuat orang-orang di
luar Islam itu merasakan kebenaran Islam.
Setelah mengetahui kebenaran Islam ini,
InsyaAllah mereka akan akan berbondong-
bondong untuk masuk Islam, sesuai dengan
firman Allah,
ﻭَﺭَﺃَﻳْﺖَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﻳَﺪْﺧُﻠُﻮﻥَ ﻓِﻲ ﺩِﻳﻦِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﻓْﻮَﺍﺟًﺎ
"Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah
dengan berbondong-bondong" (QS An-Nash: 2).
Sebaliknya, ketika ada orang yang tidak mau
memperjuangkan aqidahnya, berarti dia adalah
orang murahan. Dan kumpulan dari yang seperti
ini akan membentuk ummat yang murahan pula.
Ini menyebabkan orang enggan untuk melirik
Islam. , dalam dunia bisnis juga terjadi yang
seperti ini. Semakin sesuatu itu mempunyai
harga jual yang mahal, akan semakin membuat
orang penasaran untuk mengetahui lebih jauh
tentangnya. Sebagai contoh, beberapa waktu
yang lalu ada orang yang mau memasukakan
anaknya ke SMPIT kita ini. Sebelum
memasukkan anaknya itu, dia bertanya tentang
berapa yang harus dibayarnya untuk maksudnya
itu. Ketika dijawab bahwa uang pangkalnya
"hanya" tujuh ratus ribu rupiah, dia malah tidak
mau. Maunya yang tiga juta rupiah. Orang
seperti ini mempunyai anggapan bahwa seolah-
olah kalau yang murah itu murahan. Dan ini
metpakan tabiat manusia (thobi'atul insan)
untuk menyukai yang mahal. Akan tetapi tentu
saja asal yang mahal itu adalah sesuatu yang
benar. Makanya ketika Allah menyuruh ummat
Islam untuk memperjuangkan aqidahnya dengan
jiwanya, dengan harta bendanya, dengan
waktunya, dengan ilmunya, dan lainnya, orang
akan lihat. Mereka akan menyimpulkan bahwa
tidak mungkin ummat Islam itu mau
mengorbankan hal-hal yang mahal itu kecuali
kalau aqidahnya benar. Pasti itu aqidahnya
benar. Jadi inilah hikmah dari Allah SWT
menurunkan ibtila' (ujian-ujian) kepada orang-
orang yang berjuang di jalanNya. Ujian dari Allah
baik yang berupa harta benda, jiwa dan lainnya
bukan untuk menyiksa hambanya. Na'udzubillah,
Allah tidak akan menyiksa hambanya, tetapi
untuk mendidik dan membina hambanya.
Demikian berharganya Aqidah Islamiyah ini. Oleh
karena itu kita harus membekali diri kita dengan
aqidah ini. Makanya orang-orang yang diutus
oleh Allah SWT untuk membawa aqidah ini
bukanlah orang-orang sembarangan. Para Nabi
dan para Rasul yang membawa aqidah ini
adalah manusia-manusia pilihan. Allah
menegaskan ini antara lain pada firmanNya
ﺇِﻥَّ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢَ ﻛَﺎﻥَ ﺃُﻣَّﺔً ﻗَﺎﻧِﺘًﺎ ﻟِﻠَّﻪِ ﺣَﻨِﻴﻔًﺎ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﻚُ ﻣِﻦَ
ﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴﻦَ ، ﺷَﺎﻛِﺮًﺍ ﻟِﺄَﻧْﻌُﻤِﻪِ ﺍﺟْﺘَﺒَﺎﻩُ ﻭَﻫَﺪَﺍﻩُ ﺇِﻟَﻰ ﺻِﺮَﺍﻁٍ
ﻣُﺴْﺘَﻘِﻴﻢٍ
"Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam
yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepa-da
Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia
termasuk orang-orang yang memperseku-tukan
(Rabb) (lagi) yang mensyukuri ni'mat-ni'mat
Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya
kepada jalan yang lurus" (QS An-Nahl:120-121).
QS An-Nahl di atas menegaskan tentang Nabi
Ibrahim sebagai manusia pilihan. Jadi ketika
Allah memilih para Nabi dan Rasul itu bukan
asal-asalan. Begitu pula ketika Allah memilih
pewaris para Nabi yaitu para Ulama', orang-
orang yang sholeh, orang-orang yang shidiq, dan
para mujahid di jalan Allah, ini tidak kebetulan.
Tetapi Allah memilih dan memilih diantara
manusia yang layak pakai untuk dakwah, bukan
malah memberatkan jalan dakwah. Makanya
hatinya diuji oleh Allah agar bisa mencapai
derajat muttaqin, sehingga ia stabil di jalan Allah.
Dalam QS Al-Hujurat menyatakan,
ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻐُﻀُّﻮﻥَ ﺃَﺻْﻮَﺍﺗَﻬُﻢْ ﻋِﻨْﺪَ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ
ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺍﻣْﺘَﺤَﻦَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻗُﻠُﻮﺑَﻬُﻢْ ﻟِﻠﺘَّﻘْﻮَﻯ ﻟَﻬُﻢْ ﻣَﻐْﻔِﺮَﺓٌ ﻭَﺃَﺟْﺮٌ
ﻋَﻈِﻴﻢٌ
"Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan
suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-
orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah
untuk bertaqwa. Bagi mereka ampunan dan
pahala yang besar". (QS Al-Hujurat: 3).
Maksud ujian Allah itu agar setelah diuji
kelihatan mana yang layak untuk berdakwah dan
berjihad di jalan Allah dan mana yang tidak. Oleh
karena itu ketika kita mendapat hidayah dari
Allah dengan menjadi seorang Da'i, itu pada
dasarnya adalah penghargaan dari Allah. Karena
penghargaan kita tidak merasa kelelahan, pusing,
dan jauh dari segala keluh kesah karena
pekerjaan yang dilakukannya ini mulia. Memang
dalam perjalanan dakwah ada rintangan, ada
ujian, tetapi itulah seninya dakwah.
Selanjutnya Allah mengatakan (dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar).
Ujian-ujian itu berakhir dengan berita gembira.
Dan ibtila' yang diberikan Allah tersebut pasti
sesuai dengan standar keimanan kita
kepadaNya.
Ibtila' yang diberikan Allah kepada para
hambanya di muka bumi ini, ada empat kategori,
yaitu, pertama, ibtila' merupakan Al-Waqi'ul
Insani (realita manusia), dimana setiap manusia
pastikan diuji. Kita sebagai manusia jangan
sampai takut diuji, karena ujian itu pasti akan
kita alami.
Kedua, ibtila' merupakan Al-waqi'ul Imani
(realita keimanan), Kalau seorang manusia biasa
saja pasti akan diuji oleh Allah, apalagi sebagai
seorang mukmin. Pada sadarnya harus ada ujian
untuk mengetahui kebenaran keimanan seorang
muslim. Kadang-kadang ada orang yang merasa
bahwa keimanannya sudah benar lantaran
hidupnya mulus-mulus saja tanpa pernah
mengalami ujian-ujian. Orang yang seperti ini
seharusnya justeru bertanya tentang kebenaran
imannya, kok hidupnya santai dan mulus-mulus
saja. Hal ini karena Allah menyatakan,
ﺃَﺣَﺴِﺐَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺃَﻥْ ﻳُﺘْﺮَﻛُﻮﺍ ﺃَﻥْ ﻳَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﺀَﺍﻣَﻨَّﺎ ﻭَﻫُﻢْ ﻟَﺎ
ﻳُﻔْﺘَﻨُﻮﻥَ ‏( 2 ‏)ﻭَﻟَﻘَﺪْ ﻓَﺘَﻨَّﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻠِﻬِﻢْ ﻓَﻠَﻴَﻌْﻠَﻤَﻦَّ ﺍﻟﻠَّﻪُ
ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺻَﺪَﻗُﻮﺍ ﻭَﻟَﻴَﻌْﻠَﻤَﻦَّ ﺍﻟْﻜَﺎﺫِﺑِﻴﻦَ
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah
beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan
sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang
sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah
mengetahui orang-orang yang benar dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang
dusta. (QS Al-Ankabut: 2-3).
Ketiga, ibtila' merupakan Al-waqi Ad-Da'awiy
(realita dakwah). Sebenarnya secara otomatis
kalau seorang mukmin adalah seorang da'i. Jadi
kalau seorang mukmin saja pasti diuji, apalagi
seorang Da'i, yang tidak hanya memikirkan
dirinya sendiri, tetapi juga memikirkan ummat.
Keempat, ibtila' merupakan Al-Mi'yar Al-Imani
(standarisasi keimanan). Ini artinya semakin
tinggi tingkat keimanan seseorang, akan semakin
tinggi ujiannya. Dan semakin tinggi ujian Allah
dan semakin lulus, maka semakin tinggi pula
keimanannya. Rasulullah Saw. dalam suatu
hadist mengatakan yang artinya "Orang yang
berat ujiannya adalah para Nabi, kemudian orang
terbaik setelah Nabi. Apabila seseorang diuji oleh
Allah, maka dia tetap tahan, maka ia ditambah
lagi keimanannya". Wallahu a'lam bishshawab.
(Syh).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar